Walisongo
Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali yang sembilan, yang
menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa.
Pendapat lain menyebutkan bahwa kata songo/sanga berasal dari
kata tsana yang dalam bahasa Arab
berarti mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang
berarti tempat.
Pendapat lain yang mengatakan bahwa Walisongo adalah sebuah majelis dakwah yang
pertama kali didirikan oleh Sunan Gresik (Maulana Malik
Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi (808 Hijriah).[1] Saat itu, majelis
dakwah Walisongo beranggotakan Maulana Malik Ibrahim sendiri, Maulana Ishaq (Sunan Wali Lanang), Maulana
Ahmad Jumadil Kubro (Sunan Kubrawi);
Maulana Muhammad Al-Maghrabi (Sunan
Maghribi); Maulana Malik Isra'il (dari Champa), Maulana Muhammad Ali Akbar,
Maulana Hasanuddin, Maulana 'Aliyuddin, dan Syekh Subakir.
Dari nama para Walisongo
tersebut, pada umumnya terdapat sembilan nama yang dikenal sebagai anggota Walisongo yang paling terkenal,
yaitu:
1. Sunan Gresik (Maulana
Malik Ibrahim)
Maulana Malik
Ibrahim adalah keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad. Ia
disebut juga Sunan Gresik, atau Sunan Tandhes, atau Mursyid Akbar Thariqat Wali
Songo . Nasab As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim Nasab Maulana Malik Ibrahim
menurut catatan Dari As-Sayyid Bahruddin Ba'alawi Al-Husaini yang kumpulan
Read more
catatannya kemudian dibukukan dalam Ensiklopedi Nasab Ahlul Bait yang terdiri dari beberapa volume (jilid). Dalam Catatan itu tertulis: As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim bin As-Sayyid Barakat Zainal Alam bin As-Sayyid Husain Jamaluddin bin As-Sayyid Ahmad Jalaluddin bin As-Sayyid Abdullah bin As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin As-Sayyid Alwi Ammil Faqih bin As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin As-Sayyid Ali Khali’ Qasam bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid Muhammad bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid Ubaidillah bin Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin Al-Imam Isa bin Al-Imam Muhammad bin Al-Imam Ali Al-Uraidhi bin Al-Imam Ja’far Shadiq bin Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Al-Imam Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib, binti Nabi Muhammad Rasulullah.
Read more
catatannya kemudian dibukukan dalam Ensiklopedi Nasab Ahlul Bait yang terdiri dari beberapa volume (jilid). Dalam Catatan itu tertulis: As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim bin As-Sayyid Barakat Zainal Alam bin As-Sayyid Husain Jamaluddin bin As-Sayyid Ahmad Jalaluddin bin As-Sayyid Abdullah bin As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin As-Sayyid Alwi Ammil Faqih bin As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin As-Sayyid Ali Khali’ Qasam bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid Muhammad bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid Ubaidillah bin Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin Al-Imam Isa bin Al-Imam Muhammad bin Al-Imam Ali Al-Uraidhi bin Al-Imam Ja’far Shadiq bin Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Al-Imam Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib, binti Nabi Muhammad Rasulullah.
Maulana Malik Ibrahim pernah
bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Beliau
memiliki 3 istri:
1.
Siti Fathimah binti Ali Nurul Alam Maulana Israil (Raja
Champa Dinasti Azmatkhan 1), memiliki 2 anak, bernama: Maulana Moqfaroh dan
Syarifah Sarah. Selanjutnya
Sharifah Sarah binti Maulana Malik Ibrahim dinikahkan dengan Sayyid Fadhal Ali
Murtadha [Sunan Santri/ Raden Santri] dan melahirkan dua putera yaitu Haji
Utsman (Sunan Manyuran) dan Utsman Haji (Sunan Ngudung). Selanjutnya
Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung) berputera Sayyid Ja’far Shadiq [Sunan
Kudus].
2.
Siti Maryam binti Syaikh Subakir, memiliki 4 anak, yaitu:
Abdullah, Ibrahim, Abdul Ghafur, dan Ahmad.
3.
Wan Jamilah binti Ibrahim Zainuddin Al-Akbar Asmaraqandi,
memiliki 2 anak yaitu: Abbas dan Yusuf.
Maulana Malik Ibrahim umumnya
dianggap sebagai wali pertama yang mendakwahkan Islam di Jawa. Ia mengajarkan
cara-cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu
golongan masyarakat Jawa yang tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Malik
Ibrahim berusaha menarik hati masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi
dan perang saudara. Ia membangun pondokan tempat belajar agama di Leran,
Gresik. Pada tahun 1419, Malik Ibrahim wafat. Makamnya terdapat di desa Gapura
Wetan, Gresik, Jawa Timur.
2. Sunan Ampel (Raden
Rahmat)
Sunan Ampel bernama asli
Raden Rahmat, keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad,
menurut riwayat ia adalah putra Ibrahim
Zainuddin Al-Akbar dan seorang putri Champa yang bernama Dewi
Condro Wulan binti Raja Champa Terakhir Dari Dinasti Ming. Nasab lengkapnya
sebagai berikut: Sunan Ampel bin Sayyid Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Sayyid
Jamaluddin Al-Husain bin Sayyid Ahmad Jalaluddin bin Sayyid Abdullah bin Sayyid
Abdul Malik Azmatkhan bin Sayyid Alwi Ammil Faqih bin Sayyid Muhammad Shahib
Mirbath bin Sayyid Ali Khali’ Qasam bin Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad bin
Sayyid Alwi bin Sayyid Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin Sayyid Isa
bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Ali Al-Uraidhi bin Imam Ja’far Shadiq bin Imam
Muhammad Al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Al-Husain bin Sayyidah
Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah.
Sunan Ampel umumnya dianggap sebagai sesepuh oleh para wali
lainnya. Pesantrennya bertempat di Ampel Denta, Surabaya, dan
merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam tertua di Jawa.
Ia
menikah dengan Dewi Condrowati yang bergelar Nyai Ageng Manila, putri adipati
Tuban bernama Arya Teja dan menikah juga dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang
Kuning. Pernikahan Sunan Ampel dengan
Dewi Condrowati alias Nyai Ageng Manila binti Aryo Tejo, berputera:
Sunan Bonang,Siti Syari’ah,Sunan Derajat,Sunan Sedayu,Siti Muthmainnah dan Siti
Hafsah. Pernikahan Sunan Ampel dengan
Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning, berputera: Dewi
Murtasiyah,Asyiqah,Raden Husamuddin (Sunan Lamongan,Raden Zainal Abidin (Sunan Demak),Pangeran Tumapel dan
Raden Faqih (Sunan Ampel 2).
Makam Sunan Ampel teletak di dekat Masjid Ampel,
Surabaya.
3. Sunan
Bonang (Makhdum Ibrahim)
Sunan Bonang adalah putra
Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad. Ia
adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama
Arya Teja. Sunan Bonang
banyak berdakwah melalui kesenian untuk menarik penduduk Jawa agar memeluk
agama Islam. Ia dikatakan sebagai penggubah suluk Wijil dan tembang Tombo
Ati, yang masih sering dinyanyikan orang. Pembaharuannya pada gamelan Jawa
ialah dengan memasukkan rebab dan bonang, yang
sering dihubungkan dengan namanya. Universitas Leiden
menyimpan sebuah karya sastra bahasa Jawa bernama Het Boek van Bonang
atau Buku Bonang. Menurut G.W.J. Drewes, itu bukan karya Sunan Bonang
namun mungkin saja mengandung ajarannya.
Sunan
Bonang sering berdakwah
keliling hingga usia lanjut. Beliau meninggal dunia pada saat berdakwah di
Pulau Bawean. Berita segera disebarkan ke seluruh tanah jawa. Para murid
berdatangan dari segala penjuru untuk berduka cita dan memberikan penghormatan
yang terakhir.Murid-murid yang berada di Pulau Bawean hendak memakamkan beliau
di Pulau Bawean. Tetapi murid yang berasal dari Madura dan Surabaya menginginkan
jenasah beliau dimakamkan di dekat ayahnya yaitu Sunan
Ampel di Surabaya. Dalam
hal memberikan kain kafan pembungkus jenasah mereka pun tak mau kalah. Jenasah
yang sudah dibungkus dengan kain kafan milik orang bawean masih ditambah lagi
dengan kain kafan dari Surabaya. Pada malam harinya, orang-orang Madura dan
Surabaya menggunakan ilmu sirep untuk membikin ngantuk orang-orang Bawean dan
Tuban. Lalu mengangkut jenasah Sunan Bonang kedalam kapal dan
hendak dibawa ke Surabaya. Karena tindakannya tergesa-gesa kain kafan jenasah
tertinggal satu. Kapal layar segera bergerak ke arah Surabaya, tetapi ketika
berada diperairan Tuban tiba-tiba kapal yang dipergunakan tidak bisa bergerak
akhirnya jenasah Sunan Bonang dimakamkan di Tuban
yaitu sebelah barat Mesjid Jami’ Tuban. Sementara kain kafannya yang ditinggal
di Bawean ternyata juga ada jenasahnya. Orang-orang Bawean pun menguburkannya
dengan penuh khidmat. Dengan demikian ada dua jenasah Sunan
Bonang, inilah karomah atau
kelebihan yang diberikan Allah kepada beliau. Dengan demikian tak ada
permusuhan diantara murid-muridnya. Sunan Bonang wafat pada tahun
1525 M. Makam yang dianggap asli adalah yang berada dikota Tuban sehingga
sampai sekarang makam itu banyak yang diziarahi orang dari segala penjuru tanah air.
4. Sunan Drajat
Nama kecilnya Raden Qosim. Ia
anak Sunan Ampel. Dengan demikian ia bersaudara dengan Sunan Bonang.
Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden Syaifuddin ini
lahir pada tahun 1470M. Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari
ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar
di DusunJelog –pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi setahun
berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan
mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat,
Paciran-Lamongan.Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat
mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal.
Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang
dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk.Maka ia menggubah sejumlah suluk, di
antaranya adalah suluk petuah “berilah tongkat pada si buta/beri makan pada
yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang’.Sunan Drajat juga dikenal sebagai
seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak
memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.
5. Sunan Kudus
Sunan Kudus Ja'far Sodiq, atau yang
lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kudus, adalah putera dari
Raden Usman Haji yang bergelar dengan sebutan Sunan Ngudung di Jipang Panolan
(ada yang mengatakan letaknya disebelah utara kota blora). Dalam hubungan ini
di dalam sejarah, kita mengenal pula seorang wali yang tekenal di Iran, yang
hidup dalam abad ke VIII, yang namanya juga Ja'far Sodiq seorang Imam Syi'ah
yang keenam.
Semasa hidupnya Sunan Kudus mengajarkan agama
Islam disekitar daerah Kudus khususnya dan di Jawa Tengah pesisir utara pada
umumnya. beliau terhitung salah seorang ulama, guru besar agama yang telah
mengajar serta menyiarkan agama Islam di daerah Kudus dan sekitarnya. terkenal
dengan keahliannya dalam ilmu agama. terutama dalam Ilmu Tauhid, Usul , Hadits,
Sastra Mantiq dan lebih-lebih di dalam Ilmu Fiqih Oleh sebab itu beliau
digelari dengan sebutan sebagai Waliyyul 'Ilmi. menurut riwayat beliau juga
termasuk salah seorang pujangga yang berinisiatif mengarang cerita-cerita
pendek yang berisi filsafat serta berjiwa agama. diantara buah ciptaannya yang
terkenal, ialah Gending Maskumambang dan Mijil. Adapun Imam Ja'far Sodiq yang
terkenal di Iran itu tidak saja sebagai seorang imam dari kaum Syi'ah, akan
tetapi juga sebagai seorang yang terkemuka di dalam soal-soal hukum maupun ilmu
pengetahuan lainnya. Dengan demikian, maka menurut hemat kita Ja'far
Sodiq yang terkenal di Iran sebagai seorang wali, seorang imam dari golongan
Syi'ah yang amat dipuja serta dihormati itu, kiranya bukanlah Ja'far Sodiq
seorang wali yang menjadi salah seorang anggota dari kesembilan wali di Jawa,
yang makamnya terdapat di kota Kudus, adapun Ja'far Sodiq yang kemudian ini,
terkenal dengan sebutan Sunan Kudus. Disamping bertindak
sebagai guru agama Islam. juga sebagai salah seorang yang kuat syariatnya,
Senan Kudus-pun menjadi senopati dari kerajaan Islam di Demak. Antara
lain yang termasuk bekas peninggalan beliau adalah Masjid Raya di-Kudus, yang
kemudian dikenal dengan sebutan masjid menara Kudus. Oleh karena di halaman
masjid tersebut terdapat sebuah menara kuno yang indah. Mengenai asal-usulnya
nama Kudus menurut dongeng (legenda) yang hidup dikalangan masyarakat setempat
ialah, bahwa dahulu Sunan Kudus pernah pergi naik haji sambil menuntut ilmu di
tanah arab, kemudian beliaupun mengajar pula di sana. pada suatu masa, di tanah
arab konon berjangkit suatu wabah penyakit yang membahayakan, penyakit mana
kemudian menjadi reda, berkat jasa Sunan kudus., oleh karena itu,
seorang amir disana berkenan untuk memberikan suatu hadian kepada beliau. akan
tetapi beliau menolak,hanya kenang-kenangan beliau meminta sebuah batu. Batu
tersebut katanya berasal dari kota Baitul Makdis, atau Jeruzalem, maka sebagai
peringatan kepada kota dimana Ja'far Sodiq hidup serta bertempat tinggal,
kemudian diberikan nama Kudus. Bahkan menara yang terdapat di depan masjid itupun
juga menjadi terkenal dengan sebutan menara Kudus.
Adapun mengenai nama Kudus
atau Al Kudus ini di dalam buku Encyclopedia Islam antara lain disebutkan :
"Al kuds the usual arabic nama for Jeruzalem in later times, the olders
writers call it commonly bait al makdis (according to some : mukaddas), with
really meant the temple (of solomon), a translation of the hebrew bethamikdath,
but itu because applied to the whole town." Mengenai perjuangan Sunan
Kudus dalam menyebarkan agama Islam tidak berbeda dengan para wali lainnya,
yaitu senantiasa dipakai jalan kebijaksanaan, dengan siasat dan taktik yang
demikian itu, rakyat dapat diajak memeluk Agama Islam.
6. Sunan Giri
Ia memiliki nama kecil Raden
Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini
Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama
yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga
ibunya–seorang putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku
kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma).
Ayahnya adalah Maulana Ishak.
saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan
isterinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah ia
meninggalkan keluarga isterinya berkelana hingga ke Samudra Pasai.
Sunan Giri kecil menuntut ilmu di
pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia
sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka
pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa
Jawa, bukit adalah “giri”. Maka ia dijuluki Sunan Giri.
Pesantrennya tak hanya
dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai
pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan, memberi
keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun
berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton.
Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.
Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat
politik yang penting di Jawa, waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri
dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima
militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya,
Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti,
pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa.
Giri Kedaton bertahan hingga 200
tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh
paling gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18.
Para santri pesantren Giri juga
dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean,
Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke
Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri
yang berasal dari Minangkabau.
Dalam keagamaan, ia dikenal
karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya
sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya seni yang luar biasa.
Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut
sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending
Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.
7. Sunan Kalijaga
Dialah “wali” yang namanya paling
banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah
Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit,
Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam. Nama
kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama
panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden
Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang
disandangnya.
Masyarakat Cirebon berpendapat
bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di
Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa
mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam (‘kungkum’) di sungai
(kali) atau “jaga kali”. Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari
bahasa Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai “penghulu suci”
kesultanan.
Masa hidup Sunan Kalijaga
diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa
akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon
dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal
kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula
merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang
“tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah
kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola yang
sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya
cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata).
Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya
lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya.
Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi.
Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya
kebiasaan lama hilang.
Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam
mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara
suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan,
grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat
kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai
karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat
efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga.
Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta
Pajang (sekarang Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu
-selatan Demak.
8. Sunan Muria (Raden Umar
Said)
Ia putra Dewi Saroh –adik kandung
Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana
Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah
Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng
Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota KudusGaya berdakwahnya banyak
mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di
daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam.
Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya.
Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya.
Sunan Muria seringkali dijadikan pula
sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia
dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun
rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua
pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga
sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom
dan Kinanti.
9. Sunan Gunung Jati
(Syarif Hidayatullah)
Banyak kisah tak masuk akal yang
dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah
mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj, lalu bertemu Rasulullah
SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon
Naskah Klayan hal.xxii).
Semua itu hanya mengisyaratkan
kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati. Sunan
Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah
diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri
dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif
Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.
Syarif Hidayatullah mendalami
ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke
berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu
kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai
Kasultanan Pakungwati.
Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya “wali songo”
yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai
putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman
Pasundan atau Priangan.
Dalam berdakwah, ia menganut
kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan
membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.
Bersama putranya, Maulana
Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke
Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah
Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.
Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk
hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean.
Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon
(dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15
kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.
Walisongo
menurut periode waktu
Menurut buku Haul Sunan Ampel Ke-555 yang ditulis oleh
KH. Mohammad Dahlan, majelis dakwah yang secara umum dinamakan Walisongo,
sebenarnya terdiri dari beberapa angkatan. Para Walisongo tidak hidup pada saat
yang persis bersamaan, namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, baik
dalam ikatan darah atau karena pernikahan, maupun dalam hubungan guru-murid.
Bila ada seorang anggota majelis yang wafat, maka posisinya digantikan oleh
tokoh lainnya:
- Angkatan ke-1 (1404 – 1435 M), terdiri dari Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419), Maulana Ishaq, Maulana Ahmad Jumadil Kubro, Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Maulana Malik Isra'il (wafat 1435), Maulana Muhammad Ali Akbar (wafat 1435), Maulana Hasanuddin, Maulana 'Aliyuddin, dan Syekh Subakir atau juga disebut Syaikh Muhammad Al-Baqir.
- Angkatan ke-2 (1435 - 1463 M), terdiri dari Sunan Ampel yang tahun 1419 menggantikan Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq (wafat 1463), Maulana Ahmad Jumadil Kubro, Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Sunan Kudus yang tahun 1435 menggantikan Maulana Malik Isra’il, Sunan Gunung Jati yang tahun 1435 menggantikan Maulana Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanuddin (wafat 1462), Maulana 'Aliyuddin (wafat 1462), dan Syekh Subakir (wafat 1463).
- Angkatan ke-3 (1463 - 1466 M), terdiri dari Sunan Ampel, Sunan Giri yang tahun 1463 menggantikan Maulana Ishaq, Maulana Ahmad Jumadil Kubro (wafat 1465), Maulana Muhammad Al-Maghrabi (wafat 1465), Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang yang tahun 1462 menggantikan Maulana Hasanuddin, Sunan Derajat yang tahun 1462 menggantikan Maulana ‘Aliyyuddin, dan Sunan Kalijaga yang tahun 1463 menggantikan Syaikh Subakir.
- Angkatan ke-4 (1466 - 1513 M, terdiri dari Sunan Ampel (wafat 1481), Sunan Giri (wafat 1505), Raden Fattah yang pada tahun 1465 mengganti Maulana Ahmad Jumadil Kubra, Fathullah Khan (Falatehan) yang pada tahun 1465 mengganti Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, Sunan Derajat, dan Sunan Kalijaga (wafat 1513).
- Angkatan ke-5 (1513 - 1533 M), terdiri dari Syekh Siti Jenar yang tahun 1481 menggantikan Sunan Ampel (wafat 1517), Raden Faqih Sunan Ampel II yang ahun 1505 menggantikan kakak iparnya Sunan Giri, Raden Fattah (wafat 1518), Fathullah Khan (Falatehan), Sunan Kudus (wafat 1550), Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang (wafat 1525), Sunan Derajat (wafat 1533), dan Sunan Muria yang tahun 1513 menggantikan ayahnya Sunan Kalijaga.
- Angkatan ke-6 (1533 - 1546 M), terdiri dari Syekh Abdul Qahhar (Sunan Sedayu) yang ahun 1517 menggantikan ayahnya Syekh Siti Jenar, Raden Zainal Abidin Sunan Demak yang tahun 1540 menggantikan kakaknya Raden Faqih Sunan Ampel II, Sultan Trenggana yang tahun 1518 menggantikan ayahnya yaitu Raden Fattah, Fathullah Khan (wafat 1573), Sayyid Amir Hasan yang tahun 1550 menggantikan ayahnya Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati (wafat 1569), Raden Husamuddin Sunan Lamongan yang tahun 1525 menggantikan kakaknya Sunan Bonang, Sunan Pakuan yang tahun 1533 menggantikan ayahnya Sunan Derajat, dan Sunan Muria (wafat 1551).
- Angkatan ke-7 (1546- 1591 M), terdiri dari Syaikh Abdul Qahhar (wafat 1599), Sunan Prapen yang tahun 1570 menggantikan Raden Zainal Abidin Sunan Demak, Sunan Prawoto yang tahun 1546 menggantikan ayahnya Sultan Trenggana, Maulana Yusuf cucu Sunan Gunung Jati yang pada tahun 1573 menggantikan pamannya Fathullah Khan, Sayyid Amir Hasan, Maulana Hasanuddin yang pada tahun 1569 menggantikan ayahnya Sunan Gunung Jati, Sunan Mojoagung yang tahun 1570 menggantikan Sunan Lamongan, Sunan Cendana yang tahun 1570 menggantikan kakeknya Sunan Pakuan, dan Sayyid Shaleh (Panembahan Pekaos) anak Sayyid Amir Hasan yang tahun 1551 menggantikan kakek dari pihak ibunya yaitu Sunan Muria.
- Angkatan ke-8 (1592- 1650 M), terdiri dari Syaikh Abdul Qadir (Sunan Magelang) yang menggantikan Sunan Sedayu (wafat 1599), Baba Daud Ar-Rumi Al-Jawi yang tahun 1650 menggantikan gurunya Sunan Prapen, Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir) yang tahun 1549 menggantikan Sultan Prawoto, Maulana Yusuf, Sayyid Amir Hasan, Maulana Hasanuddin, Syekh Syamsuddin Abdullah Al-Sumatrani yang tahun 1650 menggantikan Sunan Mojoagung, Syekh Abdul Ghafur bin Abbas Al-Manduri yang tahun 1650 menggantikan Sunan Cendana, dan Sayyid Shaleh (Panembahan Pekaos).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
bagi yang suka cuap" nulis apa j d coment a eaahhh ^_^