Selasa, 06 September 2016

Cerpen



Just Let it flow
#zackkiyah

Aku membuka mata dan entah kenapa mataku berkunang-kunang. Awan adalah satu-satunya kata yang langsung melintas di otaku.
“Selamat malam awan.” Itu aku lagi ngoceh sendiri di kamar sambil peluk guling. Kalian pasti ngira kalo aku adalah salah satu spesies jomblo. Humm... Aku juga ngerasa menjadi bagian dari spesies itu malam ini.
“Awan kamu nyebelin banget sih..... Jelek!!!!!!” Aku ngedumel sendiri sambil gelimpungan dan memaki-maki kesayanganku dalam hati.
“ini jam berapa sih.?!!” Masih menggerutu, aku membolak balik ponsel, membantingnya di tempat tidur, menyalakannya untuk mengecek jam, kemudian aku banting lagi.
“Aaaahhhh ini anak orang kemana sih? Lagi ngapain? Tega banget! Sayang gak sih! Gue maraaaaahhhhhh.........” hatiku gelisah dan fikiranku kemana-mana. Aku mengecek jam lagi di ponsel sudah pukul 22.13 aku benar-benar cemas, hawatir, marah, bete, sebel, benci, kangen semua campur aduk. Entah kemana awan kesayanganku tidak ada kabar dari tadi pagi setelah dia sms mengucapkan selamat pagi.
“Sms gak di bales, telefon gak di angkat, gak biasanya kesayanganku kayak gini.” Aku masih gelisah, entah darimana datangnya air yang membuat pipiku basah. Kemudian air itu masuk menerobos bibirku yang bergetar menahan perasaan gak karuan. Rasanya asin, apakah rasa sedih ini membuat tubuhku bisa memproduksi garam sendiri. Aku paham kenapa ada pribahasa bahwa orang tua sudah banyak makan asin manisnya kehidupan. Aku rasa karena mereka sudah hidup lama dan banyak menelan air asin seperti ini. Tapi manisnya darimana ya, apa tubuh juga bisa ngeluarin gula atau madu? Aaahhhhhhh entahlah.... Awan biasanya bisa membantuku menjawab pertanyaan konyol dari otaku yang gak terlalu cerdas ini.
Aku sudah sms dan menelfon awan tapi nomornya gak aktif, jadi smsku pending dan telfonku tidak masuk. Aku juga sudah bertanya kepada teman-temannya, awan di mana? dan mereka bilang bahwa awan ada di langit sana.
“Apakah awan sudah meninggal,” pikirku. Husssshhhh mikir apaan sih aku, orang tadi pagi dia masih sms ngucapin selamat pagi ke aku. Mungkin aja temannya lagi becanda dan gak serius ngejawab pertanyaanku.
“Menyebalkan!!! Ini bukan hari ulang tahunku kan? Aku rasa bukan. Terus ini hari apa? Kenapa awan ngilang tanpa ngasih kabar apa-apa?” pikiranku kembali melayang kemana-mana.
“dddrrrrrrrddttt ddrrrdttt ddrrtttt.....” ponselku bergetar.
“Yeessss ada sms...” ponsel di samping langsung aku comot.
“Ngomong-ngomong kata sandinya apa ya? Oh iya tanggal jadianku dengan awan 01012015.” Aku bertanya dan aku jawab sendiri. Dengan semangat `99 #TahunLahirku, buru-buru aku masukan kata sandinya.
“Sialan..!! Dari operator, haarggghhh....,” batinku yang memaki, karena aku gak pernah mau ngeluarin kata makian lewat mulutku. Aku masih tidak bisa tidur karena gelisah memikirkan awan. Dalam hati aku janji gak akan cuek, ngambek apalagi marah-marah jika awan nanti menelfon atau sms aku untuk menjelaskan semuanya.
“dddrrrrrrrddttt ddrrrdttt ddrrtttt.....” ponselku bergetar lagi.
“Nih operator rajin amat sih sms lagi” aku ngedumel sambil mengecek ponsel lagi.
“Bukan dari operator ternyata. Sms dari Angga? Siapa sih dia iseng amat manggil-manggil gue sayang pula ih nyebelin.” Sms itu gak aku peduliin karena yang ada di kepalaku cuman awan awan awan dan awan, aku lempar kembali ponselku.
“kkrrkkkkkkk.... kkrruuukkkk...krrrkkk...” itu bukan suara ponselku yang getar lagi. Tapi itu suara perutku yang keroncongan. Seingatku terakhir kali aku makan tadi pagi, setelah mandi dan membuka sms dari awan aku sarapan. Untung aja selain awan, tubuhku juga bisa mengingatkan aku untuk makan. Jadi aku gak bakal terkapar sakit gara-gara lupa makan.
Aku memang sedang galau tapi aku juga perlu makan untuk bertahan hidup dan menunggu kabar dari awan. Jadi kuputuskan berburu makanan di dapur untuk mengganjal perutku yang sudah bernyanyi dari tadi. Semoga aja mama masih menyisakan makan malam untuk aku putri satu-satunya yang dia cinta.
“Yaampuunn masak iya aku makan jam segini?” aku berjalan keluar kamar menuju dapur sambil ngomong sendiri. Otaku menyemangatiku mencari alasan-alasan ngeles agar aku yakin mau makan walau sudah larut malam kayak gini.
Aku lihat meja dapur sangat bersih tak ada noda. Noda aja gak ada apalagi apalagi makanan yang di sisa in mama buat aku, mungkin mama tidak masak. Aku menuju kulkas berharap menemukan harta karun di sana. Hummbb.. lumayan buat ganjal perut, si otak juga menemukan alasan tepat untuk memanjakan perutku. Hanya ada buah, sayur, daging mentah, snack dan susu di sana.
“Yeeyyy,.. Udahlah santai. Makan aja gak apa, orang cuman makan apel doang. Tapi itu ada susu, lumayan juga hehehe” Aku kembali ke kamar sambil mengunyah apel dan membawa segelas susu. Aku makan sambil guling-gulingan di tempat tidur.
“Aku benar-benar kecewa dan sedih karena sikap awan yang seperti ini, apakah dia sedang ada masalah? Apakah akhir-akhir ini kita sering bertengkar ya?” aku bergumam sambil mengingat-ingat bagaimana hubunganku dengan awan belakangan ini. Tapi aku rasa baik-baik saja, terakhir kali bertengkar udah seminggu yang lalu. Itupun juga karena masalah sepele, aku ngambek karena dia kebanyakan tidur, main game, malas-malasan dan gak mau aku ajak jogging bersama. Alasannya tubuhnya udah proporsional dan sehat jadi buat apa olahraga. Dasar awanku, buat ngejaga tubuhnya tetep bagus kayak gitu kan gak bisa dengan diem dan males-malesan aja..
“Makan apel doang gak bikin perutku kenyang, yang ada malah pedih, asam lambungku naik gegara seharian gak makan. Oh iya masih ada susu.” Setelah menenggak susu, aku melepas pelukan gulingku dan menuju kamar mandi. Aku mau menggosok gigi juga membersihkan muka.
“Kenapa kepalaku ada perbannya? Kok aku baru nyadar ada beginian di kepala.” Aku berdiri di depan cermin, bengong dan memikirkan apa yang aku alami hari ini.
“Emangnya hari ini aku ngapain aja, kok ini kepala sampek diperban kek mumi gini. Hemmmb.....” aku masih bengong di depan cermin sambil berusaha mengingat-ingat apa yang membuat kepalaku terluka.
“Hawh pusing aku kagak inget, aku tanya mama aja kali ya? Tapi jam segini mama udah tidur, masak iya aku gangguin. Kasian kan mama capek kerja dan mengurus rumah seharian.” Aku ngomong sendiri gak jelas dambil menggosok gigi. Karena aku rasa kepalaku baik-baik aja jadi ku putuskan buat ngebuka perban.
“wah dijahit juga yaampun sebenernya aku kenapa sih kok gini banget.” Aku tetap mencuci muka pelan-pelan agar bekas jahitan tidak basah terkena air. Setelah itu aku kembali ke kamar dan rebahan sambil melanjutkan kegalauanku karena awan. Memeluk guling erat-erat, mengecek hape, membantingnya, berguling ke kiri, berguling ke kanan, cek hape lagi, duduk, tiduran lagi nangis.
“hoaaaammzz....” aku menguap masih ngantuk dan badanku terasa pegal-pegal sakit semua. Entah semalem aku tidur jam berapa, tapi sekarang sudah pukul 05.00 dan hatiku masih sakit karena awan.
“Ini hari senin, aku musti mandi sekarang dan tetap sekolah. Semoga aja nanti di sekolah ketemu sama awan.”
Aku sudah siap turun ke bawah untuk sarapan dan langsung cuss ke sekolah. Tapi entah angin dari mana ini membuat badanku terasa terhuyung ke belakang, dan aku putuskan untuk duduk sejenak mengumpulkan tenaga.
“aku kenapasih dari kemaren, aku sehat, aku mau sekolah, mau ketemu awan.” Aku memotivasi diri agar tubuhku kuat.
Ada perempuan mengenakan daster seperti ibu-ibu rumah tangga berjalan menghampiri aku dari arah pintu kamarku. Wanita ini selalu tampak istimewa di mataku walaupun usianya sudah tidak muda. Dia tidak terlalu tinggi, dengan tubuh lumayan berisi, tampak sederhana, kalem, cantik dan yang pasti sangat menyayangi aku.
“Kok mama kesini, aku baru aja mau turun.” Aku menyapa mama dengan suara seceria mungkin.
“Sayang kok pakai seragam dan perbannya dibuka?, Mama kira cantiku masih tidur.” Mamaku bertanya dengan suara lembut penuh kasih sambil duduk di sampingku dan mengusap rambut hitamku.
“iya mah ini kan hari senin dan aku gak mau terlambat ke sekolah.” Aku peluk mamaku dengan manja.
“Sayangku mau sekolah, apa kamu sudah sehat sayang?” mama bertanya heran sambil menyelidik bekas luka jahitan di kepalaku.
“Aku baik-baik aja kok mah cuman lemes dikit mungkin efek kelaparan hehehe. Emangnya aku kenapa sih mah, kok kepalaku semalem diperban dan ada bekas luka jahitan ini?” aku minta penjelasan dan penasaran.
“Kamu gak inget sayang? Kemarin pas kita jogging, gak sengaja kamu nginjek kulit pisang dan jatuh, trus kepala kamu kebentur trotoar. Mama takut banget sayang, alhamdulillah kalau sekarang sayangku sudah baikan.” Mama menjelaskan sambil berkaca-kaca dan memeluku penuh cinta.
“Oalah gitu critanya, udah siang nih mah. Aku beneran mau sekolah, dan sekarang anakmu ini udah kelaparan. Turun yuk mah sarapan, tapi mama hari ini masak apa?” aku mengenakan tas sekolah sambil menggandeng mama keluar kamar dan  turun kebawah.
“Lihat aja apa yg ada di meja pasti kamu suka. Kayaknya anak mama beneran udah baikan dan lagi kelaparan.” Aku dan mama sarapan bersama, habis itu mama mengantarku kesekolah karena tidak tega kalau aku naik motor sendiri seperti biasa.
Sepulang sekolah aku menelfon mama dan bilang dijemput sorean dikit karena mau menemui awan. Aku pergi ke lapangan futsal di gor belakang sekolah, semoga saja awan ada di sana. Karena saat istirahat aku tidak sempat ke kelasnya, gegara temen-temenku heboh semua nanyain kondisiku gimana. Padahal akumah gak inget apa-apa dan ngerasa baik-baik aja. Aku memasuki gor dan melemparkan pandanganku menyebar ke seluruh sudut ruangan. Itu dia cowok dengan tubuh tinggi dan berat badan yang proporsional, kulit kecoklatan, muka manis dipandang mengenakan kaos dan celana klub fulsalnya. Dia sedang lari kecil melakukan pemanasan di dalam lapangan dan aku menghampirinya. Aku tidak peduli dengan keberadaan teman-temannya di sana. Yang aku pedulikan hanya rasa sesak di dada dan ingin menanyakan banyak hal ke dia. Kemarin dia kemana, kenapa tidak memberi kabar ke aku, kenapa tadi pagi tidak mengucapkan selamat pagi padaku, kenapa dia tidak menemuiku, dan berbagai kenapa lainnya tentang aku dan dia.
Entah ada magnet atau apa yang membuat dia menoleh dan melihat kearahku tanpa aku memanggil namanya. Apakah dia juga merasakan apa yang aku rasakan. Dia berjalan menghampiri aku tanpa aku minta. Mungkin dia bisa membaca pikiranku atau hafal dengan maksud dari setiap gerak gerik yang aku lakukan. Dia berdiri didepanku, aku menatapnya, menerawang matanya dalam-dalam. Melihatnya baik-baik saja membuatku lega namun juga embuat mataku terasa pedih begitupun hatiku. Entah kenapa aku canggung dan tidak berani memeluknya manja seperti biasa. Aku merindukanmu, hatiku meeneriakan kata itu tapi bibirku diam saja. Mutiara cair bening keluar dari mata tanpa seizinku, dan aku masih diam saja berdiri di depan dia.
“Luna, dalam rangka apa loe ke sini. Pakek acara nangis segala” suara lembut, sok asik tapi kikuk awan memulai pembicaraan. Dia mengelap air mataku dengan jari tangannya yang besar.
“Awanku manggil aku dengan kata loe, kenapa ini? Kenapa dia dan aku seperti ini, tapi dia masih memanjakanku seperti biasa.” aku bertanya sendiri dalam hati.
“heemmmm... aku. Kamu mau tanding futsal ya habis ini?” aku mengalihkan pembicaraan. Ada banyak pertanyaan tapi entah aku gak berani dan gak ingin mendengar kata apapun dari awan. Melihat wajahnya, matanya, merasakan belaian tangannya, dan mendengar suaranya membuat dadaku sesak tapi entahlah aku tidak paham kenapa aku dan dia seperti orang lain begini.
“Iya sih, tapi jawab dulu dong ada apa kamu kesini dan keliyatan galau begini?” awanku yang dulu mulai kembali lagi, dia masih hangat dan memanggil aku dengan kata kamu dengan penuh kasih.
“Apakah kamu masih awanku?” entah kenapa keluar kata-kata itu dari mulutku, bukankan dia kekasihku, jelaslah dia awanku.
“Maksud kamu gimana luna? iya namaku masih awan dan gak ada niat buat ganti nama.” Dia mulai mencoba mencairkan suasana, tapi entah kenapa masih ada yang mengganjal di hatiku.
“Apa terjadi sesuatu dengan hubungan kita? Aku gak paham kenapa aku seperti ini awan. Dadaku sesak, hatiku sakit, aku merindukan kamu.” Suaraku liri, lemas dan bungung mengungkapkan perasaan dan berbagai hal yang aku pikirkan.
“Hay,.. kamu luna kan?” Seseorang menyapa dan memanggil namaku, sepertinya itu suara wanita. Dia menepuk bahuku dan memelukku dengan hangat dan bersahabat. Sepertinya aku mengenalnya, yang pasti dia bukan adiknya awan. Iya dia adalah rini teman sekelasku dulu saat SMP. Seingatku dia sekarang juga satu sekolah denganku tapi bukan lagi teman sekelasku. Dia memeluk awanku, bagaimana ini bisa terjadi, aku ingin marah tapi. Wajah awan tampak pucat, kaku, dan canggung, tidak sehangat tadi sebelum rini datang. Apakah awan selingkuh dengan rini? Tapi kenapa aku diam saja, hatiku sakit tapi hatiku juga dingin, aku hanya bisa diam nyesek dan tidak tau musti gimana. Apalagi barusan aku bilang merindukan awan, tapi itu karena aku kira awan masih kesayanganku.
“Hay sayang..” ada suara laki-laki lain dari arah belakangku. Apakah yang dia maksud dengan sayang adalah rini, aku kembali bertanya dalam hati namun membuat hatiku sedikit lega. Aku menoleh ke arah suara itu berasal. Iya seorang pria yang tampak lebih dewasa dari awan tapi wajah dan postur tubuhnya mirip dengan awan. Aku baru ingat namanya angga, dia adalah kakak awan. Pria itu tiba tiba memeluk dan mencubit hidungku. Loohh kook... apakah yang dia panggil sayang itu aku?
“Sayang kok diem aja. Maaf banget ya sayang kemarin aku gak sempet kerumah buat lihat kondisi kamu, tau sendirikan aku kerja sampek malem. Aku juga gak perhatian banget ya, gak bisa nelfon dan cuman sms aja. Tapi tumben smsku gak kamu bales sayang. Aku kangeennn dan hawatir banget sama kamu, karna kemarin gak ada kabar dari kamu seharian. Tapi karna aku yakin ka.....” Angga nyerocos panjang lebar, belum selesai dia bicara aku memotongnya.
“Aku gak apa kok cuman sedikit pusing dan bingung aja.” Kujawab lemas dan sekenanya saja.
“Sayang kayaknya kamu,... Tumben loh gak manja-manjaan sama aku.” Angga masih bersemangat berbicara denganku, gak menghiraukan awan dan rini yang ada di samping nya juga.
“Bang gue ama rini mau ke lapangan dulu ya, tuh temen-temen gue udah pada kumpul semua. Tar kalian nyusul n nonton gue main ya. Daannn... jagain tuh si luna.” Awan menarik kedua bibirnya berusaha tersenyum natural, tapi aku bisa melihat ada tulisan kecewa dan bingung di kepalanya. Aku bisa menangkap isyarat itu, tapi sepertinya hanya diam dan membiarkannya pergi adalah pilihanku. Hatiku masih dingin karena terkejut awan bersama rini, tapi dadaku juga sesak melihat mereka tampak begitu akrab seperti saat aku bersama awan kemarin. Entah kemarin kapan, sepertinya aku menyadari ada yang salah dengan otak dan kenanganku.
“Okey, kalian duluan aja tar kita nyusul. Aku masih mau kangen-kangenan sama lunaku.” Angga memelukku lebih erat dan menatapku dalam saat mengucapkan kalimat itu. Dia masih tidak menghiraukan mereka dan hanya terfokus padaku saja. Awan dan rini pergi menuju lapangan meninggalkan aku dan angga.
“Sayang kamu kok bengong dan diam aja, masih sakit ya kepalanya. Itu sampai di jahit segala.” Angga menanyakan hal itu padaku, bukan awan. Apakah aku harus mengatakan kondisiku yang sebenarnya. Bahwa aku bingung dengan kondisi sekarang ini. Aku tidak mengerti bagaimana bisa serumit ini. Aku, awan, angga dan rini, sejak kapan seperti ini.
“Aku baik-baik aja sa,.yang.” Aku jawab dengan memanggilnya sayang juga, karena aku gak ingin mengecewakan dia. Aku jalani saja yang ada, just let it flow. Karena aku yang kemarin pasti punya alasan hingga bisa bersama angga, bukan lagi awan yang selalu bikin aku deg-deg an. Pasti angga punya sesuatu yang bisa merebut hatiku kemarin. Pasti dia juga bisa menyembuhkan dinginnya hatiku saat ini. Yang aku tau hatiku masih terasa dingin tapi aku tidak ingin mengecewakan angga juga. Aku merasa harus menjaga hati angga yang lewat tutur dan perhatiannya mulai membuat hatiku hangat kembali. Bahkan kata sayang ku kini tidak lagi untuk awan tapi untuk dia angga. Pasti ada kejadian penting tentang aku awan dan angga di hari kemarin yang aku lupakan kini.
“Nanti aku tanya mama aja, karna mama paling tau apapun yang terjadi padaku.” Aku bergumam lirih bicara sendiri, masih tidak menghiraukan kehadiran angga.
“Sayangku, lunaku, mau tanya apa ke mama? Ngomong-ngomong kemarin mama kamu ngasih kabar aku lewat telfon tentang kondisi kamu. Bahwa kepala kamu sampai di jahit sayang, aku cemas banget kerjaku gak karuan. Mama kamu pastinya lebih hawatir sama kamu, tapi dia malah yang nenangin aku hehehe gak dewasa banget ya aku di usia setua ini sayang. Ini kita mau nonton awan main atau pulang aja, kayaknya kamu masih butuh istirahat sayang.” Angga yang penampilannya tampak lebih dewasa dari awan ternyata cerewet seperti ini, aku suka.
“Aku mau pulang aja sayang, badan aku masih agak lemas. Tapi mama kayaknya belum jemput aku deh.” Aku memilih pulang dan tidak ingin berlama-lama di ruangan ini. Aku ingin segera pulang, ingin bertanya dan bercerita banyak hal ke mama. Untuk saat ini aku jalani saja seperti tidak ada apa-apa. Aku bukan lagi drama, anggap saja aku lagi berpura-pura tidak amnesia. Biar ini jadi rahasiaku, karna aku baik-baik saja dan gak ingin mengacaukan kondisi yang sudah seperti ini alurnya.
“Siap grag sayang, aku akan jadi supir++pacar kamu dari kemarinnya kemarin kemarin kemariiiinnnn, hari ini, besok, lusa, kita menikah lalu aku jadi supir+bodyguard++suami++penasehat++apa lagi ya intinya sama kamu selamanya hehehe.” Yaampun angga masih lebhay juga, di usianya yang 20 tahun ini. Ternyata bisa membagi waktu antara kuliah dan kerja tidak cukup membuat dia memiliki jiwa dewasa saat bersamaku, tapi aku suka. Hey aku ini mikir apa, disaat seperti ini lagi-lagi ngelantur kayak gini.
“Kamu ini, aku kabarin mama dulu ya kalau aku pulang diantar kamu.” Aku tersipu malu, gak terasa bibirku naik sedikit dan tersenyum tipis.
“iya sayang, kamu telfon kabarin mama. Aku ke rini bentar ya, ngasih tau dia kalo kita mau balik  dan gak bisa nonton awan.” Angga mencium keningku di tempat kayak gini. Aku diam mematung cuman bisa mengangguk dan tersipu malu. Serasa ada hantu yang mengoleskan selai cabe di pipiku, panas rasanya mungkin sedikit memerah juga warnanya seperti habis kena gampar kanan kiri. Angga berjalan menghampiri rini setelah mencubit pipiku. Ih nih anak, bikin pipiku makin merah.
“sakit taug...” aku sedikit meneriakinya dengan manja dan pura-pura ngambek. Kok aku bisa seperti ini dalam sekejap ya, karena Angga. Dia cuman senyum-senyum kearahku sambil terus jalan menghampiri rini. Aku mulai merasa ada chemistri antara aku dan angga, dia bisa membuat suasana gor yang menyesakan dadaku tadi seketika menjadi penuh bunga bunga.
“Yuk sayang pulang.” Aku dan angga keluar GOR, kita pulang ke rumahku. Dan aku tidak sabar untuk bercerita sama mama tentang angga dan apa yang aku alami dari kemarin hingga saat ini. Hatiku hangat lagi karena Angga.

***SELESAI***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bagi yang suka cuap" nulis apa j d coment a eaahhh ^_^